BAB II
PEMBAHASAN
I. KRITERIA YANG
MATANG BERAGAMA
A. Pengertian Matang Beragama
Manusia mengalami dua macam perkembangan yaitu
perkembangan jasmani dan rohani. Perkembangan jasmani diukur berdasarkan umur
kronologis. Puncak perkembangan jasmani yang dicapai manusia disebut
kedewasaan, sebaliknya perkembangan rohani diukur berdasarkan tingkat kemampuan
(Abilitas). Pencapaian tingkat abilitas tertentu bagi perkembangan rohani
disebut istilah kematangan (Maturity).
Kemampuan seseorang untuk mengenali atau
memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan
nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku merupakan ciri dari kematanan
beragama, jadi kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk
memahami, menghayati serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang
dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Ia menganut suatu agama karena menurut
keyakinannya agama tersebutlah yang terbaik. Karena itu ia berusaha menjadi
penganut yang baik, keyakinan itu ditampilkannya dalam sikap dan tingkah laku
keagamaan yang mencerminkan ketaatan terhadap agamanya.
B. Kriteria
Orang yang Matang dalam Beragama
Kriteria
yang diberikan oleh Al-Qur'an bagi mereka yang dikategorikan orang yang matang
beragama Islam cukup bervariasi. Seperti pada sepuluh ayat pertama pada Surah
Al-Mu'minun dan bagian akhir dari Surah Al-Furqan :
- Mereka
yang khusyu' shalatnya
- Menjauhkan
diri dari (perbuatan-perbuatan) tiada berguna
- Menunaikan
zakat
- Menjaga
kemaluannya kecuali kepada isteri-isteri yang sah
- Jauh dari
perbuatan melampaui batas (zina, homoseksual, dan lain-lain)
- Memelihara
amanat dan janji yang dipikulnya
- Memelihara
shalatnya (QS. Al-Mu'minun : 1 - 10)
- Suka
bertaubat, tidak memberi persaksian palsu dan jauh dari perbuatan
sia-sia,
memperhatikan Al-Qur'an, bersabar, dan mengharap keturunan yang bertaqwa (QS.
Al-Furqan : 63 - 67)
Kriteria
dari As-sunnah : Rasulullah SAW memberikan batas minimal bagi seorang yang
disebut muslim yaitu disebut muslim itu apabila muslim-muslim lain merasa aman
dari lidah dan tangannya (HR. Muslim). Sementara ciri-ciri lain disebutkan
cukup banyak bagi orang yang meningkatkan kualitas keimanannya. Sehingga tidak
jarang Nabi SAW menganjurkan dengan cara peringatan, seperti :
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan Rasul-Nya hendaknya dia mencintai
saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri" (HR. Bukhari).
"Tidak beriman seseorang sampai tetangganya merasa aman dari gangguannya
" (HR. Bukhari dan Muslim). "Tidak beriman seseorang kepada Allah
sehingga dia lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya dari pada kecintaan
lainnya..." (HR. Muslim).
Dengan demikian
petunjuk-petunjuk itu mengarahkan kepada seseorang yang beragama Islam agar dia
menjaga lidah dan tangannya sehingga tidak mengganggu orang lain, demikian juga
dia menghormati tetangganya, saudara sesama muslim dan sangat mencintai Allah
dan Rasul-Nya.
Ringkas
kata, dia berpedoman kepada petunjuk Al-Qur'an dan mengikuti contoh praktek
Rasulullah SAW, sehingga dia betul-betul menjaga hubungan "hablum minallah
" (hubungan vertikal) dan "hablum minannaas" (hubungan
horizontal).
Peringatan
shahabat Ali r.a. bahwa klimaks orang ciri keagamaannya matang adalah apabila
orang tersebut bertaqwa kepada Allah SWT. Dan inti taqwa itu ada empat, menurut Ali r.a. :
o
Mengamalkan isi Al-Qur'an
o
Mempunyai rasa takut kepada Allah sehingga berbuat sesuai dengan perintah Nya
o
Merasa puas dengan pemberian atau karunia Allah SWT meskipun terasa sedikit
Sedangkan
Ibnul Qoyyim, ulama abad ke 7, menyebutkan 9 kriteria bagi orang yang matang
beragama Islamnya, yaitu :
o
Dia terbina keimanannya yaitu selalu menjaga fluktualitas keimanannya agar
o
selalu bertambah kualitasnya
o
Dia terbina ruhiyahnya yaitu menanamkan pada dirinya kebesaran dan keagungan
o
Allah serta segala yang dijanjikan di akherat kelak, sehingga dia menyibukkan
o
diri untuk meraihnya
o
Dia terbina pemikirannya sehingga akalnya diarahkan untuk memikirkan
o
ayat-ayat Allah Al-Kauniyah (cipataan-Nya) dan Al-Qur'aniyah (firman-Nya).
o
Dia terbina perasaannya sehingga segala ungkapan perasaan ditujukan kepada
o
allah, senang atau benci, marah atau rela, semuanya karena Allah.
o
Dia terbina akhlaknya dimana kepribadiannya di bangun diatas pondasi akhlak
o
mulia sehingga kalau berbicara dia jujur, bermuka manis, menyantuni yang tidak
o
mampu, tidak menyakiti orang lain dan berbagai akhlak mulia
o
Dia terbina kemasyarakatannya karena menyadari sebagai makhluk sosial, dia
o
harus memperhatikan lingkungannya sehingga dia berperan aktif mensejahterakan
o
masyarakat baik intelektualitasnya, ekonominya, kegotang-royongannya, dan
o
lain-lain
o
Dia terbina keamuannya sehingga tidak mengumbar kemauannya ke arah yang
o
distruktif tetapi justru diarahkan sesuai dengan kehendak Allah. Kemauan yang
o
mendorongnya selalu beramal shaleh
o
Dia terbina kesehatan badannya karena itu dia memberikan hak-hak badan untuk
o
ketaatan kepada Allah karena Rasulullah SAW bersabda : "Orang mukmin yang
kuat
o
itu lebih baik dan dicintai Allah daripada mukmin yang lemah " (HR. Ahmad)
o
Dia terbina nafsu seksualnya yaitu diarahkan kepada perkawinan yang
o
dihalalkan Allah SWT sehingga dapat menghasilkan keturunan yang shaleh dan
o
bermanfaat bagi agama dan negara.
II. PENGARUH
KEBUDAYAAN DAN PENDIDIKAN TERHADAP JIWA KEAGAMAAN
A. Pengaruh
kebudayaan terhadap jiwa keagamaan
Era global ditandai oleh proses
kehidupan mendunia, kamajuan IPTEK terutama dalam bidang transportasi dan
komunikasi serta terjadinya lintas budaya. Kondisi ini mendukung terciptanya
berbagai kemudahan dalam hidup manusia, menjadikan dunia semakin transparan.
Pengaruh ini ikut melahirkan pandangan yang serba boleh (permissiveness). Apa
yang sebelumnya dianggap sebagai tabu, selanjutnya dapat diterima dan dianggap
biasa. Sementara itu, nilai-nilai tradisional mengalami proses perubahan sistem
nilai. Bahkan mulai kehilangan pegangan hidup yang bersumber dari tradisi
masyarakatnya. Termasuk ke dalamnya sistem nilai yang bersumber dari ajaran
agama.
Dalam kaitannya dengan jiwa
keagamaan, barang kali dampak globalisasi itu dapat dilihat melalui hubungannya
dengan perubahan sikap. Menurut teori yang dikemukakan oleh Osgood dan
Tannenbaum, perubahan sikap akan terjadi jika terjadi persamaan persepsi pada
diri seseorang atau masyarakat terhadap sesuatu. Hal ini
berarti bahwa apabila pengaruh globalisasi dengan segala muatannya di nilai
baik oleh individu maupun masyarakat, maka mereka akan menerimanya.
Secara fenomina, kebudayaan dalam era global
mengarah kepada nilai-nilai sekuler yang besar pengaruhnya terhadap
perkembangan jiwa keagamaan. Meskipun dalam
sisi-sisi tertentu kehidupan tradisi keagamaan tampak meningkat dalam
kesemarakannya. Namun dalam kehidupan masyarakat global yang cenderung sekuler
barangkali akan ada pengaruhnya terhadap pertumbungan jiwa keagamaannya.
Dalam situasi seperti itu, bisa saja terjadi berbagai
kemungkinan. Pertama, mereka yang tidak ikut larut dalam pengaguman yang
berlebihan terhadap rekayasa teknologi dan tetap berpegang teguh pada nilai –
nilai keagamaan, kemungkinan akan lebih meyakini kebenaran agama. Kedua,
golongan yang longgar dari nilai-nilai ajaran agama akan mengalami kekosongan
jiwa, golongan ini sulit menentukan pilihan guna menentramkan gejolak dalam
jiwanya
B. Pengaruh Pendidikan terhadap jiwa keagamaan
1. Pendidikan
Agama dalam Pendidikan Islam
Perkembangan kejiwaan seseorang adalah sebuah bentuk
kewajaran dan pasti terjadi dalam diri seseorang. Oleh karena itu pendidikan
merupakan suatu keniscayaan dalam mengarahkan proses perkembangan kejiwaan.
Terlebih lagi dalam lembaga pendidikan islam, tentu akan mempengaruhi bagi
pembentukan jiwa keagamaan. Jiwa keagamaan ini perlu ditanamkan pada anak sejak
usia dini.
Pendidikan agama memang mempunyai peranan yang sangat
penting bagi manusia, oleh karena itu pendidikan agama islam adalah sebuah
upaya nyata yang akan mengantarkan umat islam kepada perkembangan rasa agama.
Umat islam akan lebih memahami dan terinternalisasi esensi rasa agama itu
sendiri. Pertama yaitu rasa bertuhan; rasa bertuhan ini meliputi merasa ada
sesuatu yang maha besar yang berkuasa atas dirinya dan alam semesta, ada rasa
ikatan dengan sesuatu tersebut, rasa dekat, rasa rindu, rasa kagum dan
lain-lain. Kedua yaitu rasa taat; rasa taat ini meliputi ada rasa ingin
mengarahkan diri pada kehendak-Nya dan ada rasa ingin mengikuti
aturan-aturan-Nya.
Pendidikan agama adalah bentuk pendidikan nilai,
karena itu maksimal dan tidaknya pendidikan agama tergantung dari faktor yang
dapat memotivasi untuk memahami nilai agama. Semakin suasana pendidikan agama
membuat betah maka perkembangan jiwa keagamaan akan dapat tumbuh dengan
optimal. Jiwa keagamaan ini akan tumbuh bersama dengan suasana lingkungan
sekitarnya. Apabila jiwa keagamaan telah tumbuh maka akan terbentuk sikap
keagamaan yang termanifestasikan dalam kehidupan sehari-harinya.
2.
Pendidikan Keluarga
Anak-anak
sejak masa sekolah memiliki lingkungan tunggal, yaitu keluarga. Makanya tak
mengherankan jika Gilbert Highest menyatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki
anak-anak sebagian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga. Sejak dari bangun
tidur hingga ke saat akan tidur kembali, anak-anak menerirna pengaruh dan pendidikan
dari lingkunan keluarga.
Menurut W.H.
Clark Bayi yang baru lahir merupakan makhluk yang tidak berdaya, namun ia
dibekali oleh berhagai kemampuan yang bersifat bawaan. Di sini terlihat adanya
dua aspek yang kontradiktif . Di satu pihak bayi berada dalam kondisi tanpa
daya sedangkan di pihak lain bayi memiliki kemampuan untuk berkembang
(eksploratif). Tetapi menurut Walter Houston Clark, perkembangan bayi tak
mungkin dapat berkembang secara normal tanpa adanya investasi dari luar,
walaupun secara alami ia memiliki potensi bawaan.
Keluarga
menurut para pendidik merupakan lapangan pendidikan yang pertama dan
pendidiknya adalah kedua orang tua. Orang tua (bapak dan ibu) adalah pendidik
kodrati. Mereka pendidik bagi anak-anaknya. Karena secara kodrat ibu dan bapak
diberikan anugerah oleh Tuhan Pencipta berupa naluri orang tua. Karena naluri
ini, timbul rasa kasih sayang para orang tua kepada anak-anak mereka, hingga
secara moral keduanya merasa terbeban tanggung jawab untuk memelihara,
mengawasi, melindungi serta membimbing keturunan mereka.
Pendidikan
keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa
keagamaan perkembangan agama menurut W. H. Clark, berjalan dengan
unsur-unsur kejiwaan sehingga sulit untuk diidentifikasi secara jelas, karena
masalah yang menyangkut keiwaan manusia demikian rumit dan kompleksnya. Namun
demikian, melalui fungsi-fungsi jiwa yang masih sangat sederhana tersebut,
agama terjalin dan terlihat di dalamnya. Melalui jalinan unsur-unsur dan tenaga
kejiwaan ini pulalah agama itu berkembang. (W.H. Clark, 1964: 4). Dalam kaitan
itu pulalah terlihat peran pendidikan keluarga dalam menanamkan jiwa keagamaan
pada anak. Maka, tak mengherankan jika Rasul menekankan tanggung jawab itu pada
kedua orang tua.
Menurut
Rasul Allah Saw., fungsi dan peran orang tua bahkan mampu untuk membentuk arah
keyakinan anak-anak mereka. Menurut beliau, setiap bayi yang dilahirkan sudah
memiliki potensi untuk beragama, namun bentuk keyakinan agama yang akan dianut
anak sepenuhnya tergantung dari bimbingan, pemeliharaan, dan pengaruh kedua
orang tua mereka.
C.
Pendidikan Kelembagaan
Di masyarakat primitif lembaga pendidikan secara
khusus tidak ada. Anak-anak umumnya dididik di lingkungan keluarga dan
masyarakat lingkungan. Pendidikan secara kelembagaan memang belum diperlukan,
karena variasi profesi dalam kehidupan belum ada. Dan karena kehidupan
masyarakat bersifat homogen, maka kemampuan profesional di luar tradisi yang
diwariskan secara turun-temurun tidak mungkin berkembang. Oleh karena itu,
lembaga pendidikan khusus menyatu dengan kehidupan keluarga dan masyarakat.
Di masyarakat yang telah memiliki peradaban modern,
tradisi seperti itu tak mungkin dipertahankan. Untuk menyelaraskan diri dengan
perkembangan kehidupan masyarakatnya, seseorang memerlukan pendidikan. Sejalan
dengan kepentingan itu, maka dibentuk lembaga khusus yang menyelenggarakan
tugas-tugas kependidikan dimaksud. Dengan demikian, secara kelembagaan maka
sekolah-sekolah pada hakikatnya adalah merupakan lembaga pendidikan yang
artifisialis (sengaja dibuat).
Sekolah sebagai kelembagaan pendidikan adalah pelanjut
dari pendidikan keluarga. Karena keterbatasan para orang tua untuk mendidik
anak-anak mereka, maka mereka diserahkan ke sekolah-sekolah. Sejalan dengan
kepentingan dan masa depan anak-anak, terkadang para orang tua sangat selektif
dalam menentukan tempat untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Mungkin saja para
orang tua yang berasal dari keluarga yang taat beragama akan memasukkan anaknya
ke sekolah-sekolah agama. Sebaliknya, para orang tua lain lebih mengarahkan
anak mereka untuk masuk ke sekolah-sekolah umum. Atau sebaliknya, para orang
tua yang sulit mengendalikan tingkah laku anaknya akan memasukkan anak-anak
mereka ke sekolah agama dengan harapan secara kelembagaan sekolah tersebut
dapat memberi pengaruh dalam membentuk kepribadian anak-anak tersebut.
D.
Pendidikan di Masyarakat
Masyarakat
merapakan lapangan pendidikan yang ketiga. Para pendidik umumnya sependapat bahwa
lapangan pendidikan yang ikut mempengaruhi perkembangan anak didik adalah
keluarga, kelembagaan pendidikan, dan lingkungan masyarakat. Keserasian antara
ketiga lapangan pendidikan ini akan memberi dampak yang positif bagi
perkembangan anak, termasuk dalam pembentukan jiwa keagamaan mereka.
Seperti
diketahui bahwa dalam keadaan yang ideal, pertumbuhan seseorang menjadi sosok
yang memiliki kepribadian terintegrasi dalam berbagai aspek mencakup fisik,
psikis, moral, dan spiritual. Makanya, menurut Wetherington, untuk mencapai
tujuan itu perlu pola asuh yang serasi. Menurutnya ada lima aspek dalarn
mengasuh pertumbuhan itu, yaitu:
1)
fakta-fakta asuhan
2)
alat-alatnya
3)
regularitas
4)
perlindungan, dan
5)
unsur waktu
Wetherington
memberi contoh mengenai fakta asuhan yang diberikan kepada anak kembar yang
diasuh di lingkungan yang berbeda. Hasilnya ternyata menunjukkan bahwa ada
perbedaan antara keduanya sebagai hasil pengaruh lingkungan. Selanjutnya, ia
mengutip hasil penelitian Newman tentang adanya perbedaan dalam lingkungan
sosial dan pendidikan menghasilkan perbedaan-perbedaan yang tak dapat disangkal.
Dengan demikian menurutnya, kehidupan rumah (keluarga) yang baik dapat
menimbulkan perubahan-perubahan yang penting dalam pertumbuhan psikis
(kejiwaan) dan dalam suasana yang lebih kaya pada suatu sekolah
perubahan-perubahan semacam itu akan lebih banyak lagi.
Selanjutnya,
karena asuhan terhadap pertumbuhan anak harus berlangsung secara teratur dan
terus-menerus. Oleh karena itu, lingkungan masyarakat akan memberi dampak dalam
pembentukan pertumbuhan itu. Jika pertumbuhan fisik akan berhenti saat anak
mencapai usia dewasa, namun pertumbuhan psikis akan berlangsung seumur hidup.
Hal ini menunjukkan bahwa masa asuhan di kelembagaan pendidikan (sekolah) hanya
berlangsung selama waktu ternentu. Sebaliknya, asuhan oleh masyarakat akan
berjalan seumur hidup. Dalam kaitan ini pula terlihat besarnya pengaruh
masyarakat terhadap pertumbuhan jiwa keagamaan sebagai bagian dari aspek kepribadiaan
terintegrasi dalam pertumbuhan psikis. Jiwa keagamaan yang memuat norma-norma
kesopanan tidak akan dapat dikuasai hanya dengan mengenal saja. Menurut
Emerson, norma-norma kesopanan menghendaki adanya norma-norma kesopanan pula
pada oranng lain.
Dalam ruang
lingkup yang lebih luas dapat diartikan bahwa pembentukan nilai-nilai kesopanan
atau nilai-nilai yang berkaitan dengan aspek-aspek spiritual akan lebih efektif
jika seseorang berada dalam lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai
tersebut. Dengan demikian, fungsi dan peran masyarakat dalarn pembentukan jiwa
keagamaan akan sangat tergantung dari seberapa jauh masyarakat tersebut
menjunjung norma-norma keagamaan itu sendiri.
III. GANGGUAN JIWA KEAGAMAAN
A.
Faktor Intern
1.
Faktor Hereditas
Jiwa
keagamaan memang bukan secara langsung sebagai faktor bawaan yang diwariskan
secara turun menurun, melainkan terbentuk dari berbagai unsure kejiwaan lainnya
yang mencakup kognitif, afektif, dan konatif. Tetapi dalam penelitian terhadap
janin terungkap bahwa makanan dan perasaan ibu berpengaruh terhadap kondisi
janin yang dikandungnya. Meskipun belum dilakukan penelitian mengenai hubungan
antara sifat-sifat kejiwaan anak dengan orang tuanya, namun tampaknya pengaruh
tersebut dapat dilihat dari hubungan emosional. Perbuatan buruk dan tercela
jika dilakukan, menurut Sigmund Freud akan menimbulkan rasa bersalah (sense of
guilt) dalam diri pelakunya. Bila pelanggaran yang dilakukan terhadap larangan
agama, maka pada diri pelakunya akan timbul rasa berdosa. Dan perasaan seperti
ini barangkali yang ikut mempengaruhi jiwa keagamaan sebagai unsure hereditas.
2.
Tingkat Usia
Dalam
bukunya The Development of Religious on Children Ernest Harms mengungkapkan
bahwa perkembangan agama pada anak-anak ditentukan oleh tingkat usia mereka.
Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh perkembangan berbagai aspek kejiwaan
termasuk perkembangan berpikir. Ternyata, anak yang menginjak usia berpikir
kritis lebih kritis pula dalam memahami ajaran agama. Selanjutnya, pada usia
remaja saat mereka menginjak usia kematangan seksual, pengaruh itu pun
menyertai perkembangan jiwa keagamaan mereka.
3.
Kepribadian
Kepribadian
menurut pandangan psikologi terdiri dari dua unsur, yaitu unsur hereditas dan
pengaruh lingkungan. Hubungan antara unsur hereditas dengan pengaruh lingkungan
inilah yang membentuk kepribadian. Adanya kedua unsur yang mebentuk kepribadian
itu menyebabkan munculnya konsep tipologi dan karakter. Tipologi lebih
ditekankan kepada unsur bawaan, sedangkan karakter lebih ditekankan oleh adanya
pengaruh lingkungan.
4.
Kondisi Kejiwaan
Kondisi
kejiwaan ini terkait dengan kepribadian sebagai faktor intern. Ada beberapa
model pendekatan yang mengungkapkan hubungan ini. Model Psikodinamik yang
dikemukakan Sigmund Freud menunjukan gangguan kejiwaan ditibulkan oleh konflik
yang tertekan di alam ketidaksadaran manusia. Konflik akan menjadi sumber
gejala kejiwaan yang abnormal. Selanjutnya, menurut pendekatan biomedis, fungsi
tubuh yang dominan mempengaruhi kondisi jiwa seseorang. Penyakit ataupun faktor
genetik atau sistem saraf diperkirakan menjadi sumber munculnya perilaku
abnormal. Kemudian pendekatan eksistensial menekankan pada dominasi pengalaman
kekinian manusia. Dengan demikian, sikpa manusia ditentukan oleh stimulant
(rangsangan) lingkungan yang dihadapinya saat itu.
B.
Faktor Ekstern
1.
Lingkungan Keluarga
Keluarga
merupakan satuan sosial yang paling sederhana dalam kehidupan manusia.
Anggota-anggotanya terdiri atas ayah ibu dan anak-anak. Bagi anak-anak,
keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenalnya. Dengan demikian,
kehidupan keluarga menjadi fase sosialisasi awal bagi pembentukan jiwa
keagamaan anak. Pengaruh kedua orangtua terhadap perkembangan jiwa keagamaan
anak dalam pandangan Islam sudah lama disadari. Oleh karena itu, sebagai
intervensi terhadap perkembangan jiwa keagamaan tersebut, kedua orangtua
diberikan beban tanggungjawab.
2.
Lingkungan Institusional
Lingkungan
institusional yang ikut mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan dapat berupa
institusi formal seperti sekolah ataupun yang nonformal seperti berbagai
perkumpulan dan organisasi. Sekolah sebagai institusi formal ikut memberi
pengaruh dalam membantu perkembangan kepribadian anak. Menurut Singgih D.
Gunarsa pengaruh itu dapat dibagi tiga kelompok, yaitu: 1) kurikulum dan anak;
2) hubungan guru dan murid; 3) hubungan antar anak. Dilihat dari kaitannya
dengan perkembangan jiwa keagamaan, tampaknya ketiga kelompok tersebut ikut
berpengaruh.
3.
Lingkungan Masyarakat
Lingkungan
masyarakat merupakan lingkungan yang mengandung unsur tanggung jawab, melainkan
hanya merupakan unsure pengaruh belaka,tetapi norma dan tata nilai yang ada
terkadang lebih mengikat sifatnya. Bahkan terkadang pengaruhnya lebih besar
dalam perkembangan jiwa keagamaan, baik dalam bentuk positif maupun negative.
Misalnya, lingkungan masyarakat yang memiliki tradisi keagamaan yang kuat akan
berpengaruh positif bagi perkembangan jiwa keagamaan anak, sebab kehidupan
keagamaan terkondisi dalam tatanan nilai maupun institusi keagamaan..
4.
Fanatisme dan Ketaatan
Suatu
tradisi keagamaan dapat menimbulkan dua sisi dalam perkembangan jiwa keagamaan
seseorang, yaitu fanatisme dan ketaatan. Mengacu kepada pendapat Erich Fromm
bahawa karakter terbina melalui asimilisai dan sosialisasi, maka tradisi keagamaan
memenuhi kedua aspek tersebut.
David
Riesman melihat ada tiga model konfirmitas karakter, yaitu: 1) arahan tradisi
(tradition directed); 2) arahan dalam (inner directed); dan 3) arahan orang
lain (other directed).
BAB II
PENUTUP
KESIMPULAN
Kematangan
beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati, serta
mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan
sehari-hari. Ia menganut suatu agama karena menurut keyakinannya agama
tersebutlah yang terbaik, karena itu ia berusaha menjadi penganut yang baik.
Keyakinan itu ditampilkan dalam sikap dan tingkah laku keagamaan yang
mencerminkan ketaatan terhadap agamanya. Secara normal memang seorang yang
sudah mencapai tingkat kedewasaan akan memiliki pola kematangan rohani seperti
kematangan berfikir, kematangan kepribadian maupun kematangan emosi, tetapi
perimbangan antara kedewasaan jasmani dan kematangan rohani ini ada kalanya
tidak berjalan sejajar, secara fisik (jasmani) seseorang mungkin sudah dewasa,
tetapi secara rohani ternyata ia belum matang.
Pendidikan agama dalam pendidikan islam sangatlah
penting sekali, sebab dengan adanya pendidikan agama, manusia akan lebih dekat
dengan tuhan, dan keimanan mereka akan semakin kuat.pendidikan sangatlah
berpengaruh terhadap jiwa keagamaan seseorang, khususnya dalam
pembentukan pribadi atau pembentukan watak. Semakin tinggi pendidikan seseorang
maka akan semakin baik tingkat kecerdasan dalam melaksanakan ibadah kepada
allah swt. Oleh karena itu pengaruh pendidikan terhadap jiwa keagamaan
sangatlah penting untuk diketahui guna untuk menanamkan rasa keagamaan pada
seorang anak didik. Diantara pengaruhnya adalah pendidikan keluarga, pendidikan
kelembagaan, dan pendidikan di masyarakat.pendidikan keluarga merupakan
pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan. Perkembangan agama menurut
w.h.clark, berjalin dengan unsur-unsur kejiwaan sehingga sulit di identifikasi
secara jelas, karena masalh menyangkut kejiwaan, manusia begitu rumit dan
kompleksnya. Di sini terlihat hubungan antara llingkungan dan sikap masyarakat
terhadap nilai-nilai agama. Di lingkungan masyarakat sendiri barangkali akan
lebih memberi pengaruh bagi pendidikan jiwa keagamaan dibandingkan dengan
masyarakat lain yang memiliki ikatan yang longgar terhadap norma-norma
keagamaan.
DAFTAR PUSTAKA
H. Jalaludin, Prof. Dr, Psikologi Agama Edisi
Refisi 2002, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
H. Ramayulis, Prof. Dr, Pengantar Psikologi
Agama, Kalam Mulia, Jakarta, 2002.
Nasution Harun, Filsafat Mistisisme Dalam
Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973.
Tafsir Ahmad, Prof. Dr, Filsafat Ilmu, PT
Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar